[Fanfiction] I’m Not Her (Not Me!!) ||Chaptered||Part 2

Sugaaaa

Title: I’m Not Her (Not Me!!!)
Author: Ace Min
Cast:
• Yoon Harim (OC)
• Kim Tae Hyung/ V (BTS)
• Park Ji Min/Jimin (BTS)
• Jeon Jung Kook/Jungkook (BTS)
• Min Yoon Gi/Suga (BTS)
• Kim Seok Jin/ Jin (BTS)
• Jung Haneul (OC)
• And other cast
Genre: Romance
Rating: T
Length: Chaptered

Jika reinkarnasi itu benar-benar ada, dosa apa yang aku perbuat hingga akhirnya sekarang aku mengalami kehidupan yang begitu sulit? -Yoon Gi.

Part 2
Kedatangan Taehyung benar-benar membuat Harim bengah, hingga akhirnya kini Harim dapat bernafas lega saat berdiri di depan pintu lift. Lega? Sepertinya kelegaan itu hanya perasaan sesaat jika ia ingat ia telah membuat kesalahan baru, yaitu membiarkan laki-laki yang tidak kenal membantunya melarikan diri dari Taehyung. Ia mendesah berat saat menyadarinya.

Ia menatap laki-laki yang membantunya dengan seksama. Laki-laki yang duduk di kursi rodanya itu memiliki kulit yang sangat putih, bahkan bisa dikatakan lebih putih dari dirinya. Mungkin karena ia jarang keluar, batin Harim. Sweater cream dan syal merahnya membuat Harim berfikir laki-laki ini pasti akan keluar. Ditambah dengan selimut tebal yang menutupi kaki laki-laki itu membuat Harim semakin yakin dengan dugaannya.

Denting suara lift berbunyi, membuat Harim segera masuk seraya mendorong masuk kursi roda Yoon Gi. Tidak ada siapapun di lift malam itu, hanya ia dan laki-laki yang tak dikenalnya. Sesegera mungkin ia menekan angka satu pada tombol yang berada di dekat pintu lift, lalu menekan tombol untuk menutup pintu lift.

Suasana mendadak terasa begitu canggung saat pintu lift mulai tertutup. Kesunyian menyelimuti mereka berdua. Harim mengutuk dirinya sendiri karena tidak berfikir panjang dan membuat ia harus berurusan dengan orang asing lagi untuk yang kesekian kalinya.

Harim berdeham pelan, mencoba memecah keheningan disana. “Jangan salah paham, aku melakukan ini hanya untuk menghindari namja tadi..” ujar si perempuan pemilik berambut panjang bergelombang berwarna hitam kecoklatan. Laki-laki yang mendengar ucapannya malah tersenyum, membuat Harim mengernyitkan dahinya.

“Kenapa kau tersenyum seperti itu? Kau terlihat begitu menakutkan..”
Yoon Gi terkekeh pelan mendengar protes Harim.

“Kenapa kau tertawa? Apa ada yang lucu?” tanya Harim yang mulai kesal dengan sikap Yoon Gi yang seakan mengejeknya. Ia langsung berhenti terkekeh saat mendengar ucapan Harim tadi. Ia berdeham sebentar, mencoba mencairkan suasana yang mendadak menjadi begitu tegang.

“Aku rasa kau begitu tidak menyukai namja itu,” ucap Yoon Gi tiba-tiba yang membuat Harim mendengus kesal.

“Apa tuan sangat suka sekali ikut campur urusan orang lain? Urus saja diri tuan sendiri..” timpal Harim dengan bahasa formal. Ia memang tidak suka ada orang yang ikut campur urusannya. Yoon Gi yang mendengarnya hanya tersenyum tak percaya.

“Apa kau tidak bisa mengucapkan kata ‘maaf’ dan ‘terimakasih’?” tanya Yoon Gi yang membuat yeoja itu terhenyak. Harim menghela nafas tak percaya.

“Kenapa aku harus minta maaf? Untuk apa aku harus berterimakasih?” protesnya.

“Kau harus minta maaf karena kau memperlakukanku seperti ini tanpa ijin dan berterimakasih karena aku bersedia membantumu.” jawab Yoon Gi enteng yang membuat Harim menganga tak percaya.

“Whoaa.. daebak! Bagaimana orang sepertimu mengajariku mengucapkan kata terimakasih dan maaf? Tuan, aku rasa kau akan menyesal mengatakan itu padaku saat kau tau siapa aku..” ucap Harim dengan nada mengancam.

Yoon Gi terkekeh mendengarnya. “Kau benar-benar mirip dengan seseorang yang aku kenal. Apa bisa kita tidak bertengkar dengan keadaan seperti ini?”

Harim mendecak kesal. Ia merasa menyesal menggunakan laki-laki itu untuk membantunya lepas dari Taehyung. Ia merasa lebih baik ia tadi menghadapi Taehyung daripada menghindarinya dan ribut dengan namja yang kini bersamanya. Kini rasa sesak memenuhi dadanya. Ingin sekali ia menghajar laki-laki itu, namun suara dentingan pintu lift membuat Harim mengurungkan niatnya. Ia segera keluar dari lift seraya mendorong kursi roda Yoon Gi menuju lobi dekat dengan pintu utama.

“Berhenti!” ucap Yoon Gi tiba-tiba yang membuat Harim menghentikan langkahnya. Yoon Gi menoleh ke yeoja yang berdiri di belakang kursi rodanya itu. “Aku bisa pergi sendiri. Kau bisa pergi sekarang..” lanjutnya dengan nada datarnya. Ia melihat disekelilingnya yang mulai sepi karena hari telah larut, namun melihat ada beberapa orang yang masih berjaga di lobi dan luar apartemen membuat Harim berfikir tak apa jika ia menuruti kata laki-laki itu.

“Baiklah jika itu maumu.” Ujar Harim sambil melepas tangannya dari kursi roda Yoon Gi. “Aku pergi dulu..” lanjutnya sambil berjalan melewati Yoon Gi.

“Chamkaman!!” seru Yoon Gi yang membuat Harim menghentikan langkahnya. “Apa kau benar-benar tidak mau meminta maaf? Setidaknya minta maaflah karena kau telah mengubah-ubah namaku! Suga?? Nama apa seperti itu?” protes Yoon Gi sambil menjalankan kursi rodanya menghampiri yeoja itu.

Harim mendecak pelan, kemudian membalikkan badannya hingga kini mereka saling berhadapan. “Kenapa aku harus minta maaf karena nama itu? Bukankah Suga nama yang bagus? Suga itu berarti gula, manis. Apa aku harus meminta maaf karena aku memanggilmu manis?” kesal Harim langsung berlalu meninggalkan Yoon Gi.

Yoon Gi hanya bisa menyunggingkan senyumnya melihat punggung yeoja yang kini menjauhinya. Ia menatap kedua kakinya yang ada di atas kursi roda.

“Setidaknya kau meminta maaf karena aku sudah tidak memiliki ibu..” lirihnya.

***

“Astaga!! Yoon!! Ada apa denganmu?!!” seru Haneul saat melihat Yoon Gi yang sedang mencoba merangkak menuju kursi rodanya. Ia segera membantu Yoon Gi untuk berdiri dan memapahnya menuju kursi roda.

“Bagaimana bisa kau tidak berada di kursi rodamu?!” seru Haneul dengan nada yang meninggi. Yoon Gi yang mendengar pertanyaan Haneul yang begitu khawatir padanya hanya mengulas senyuman khas yang ia miliki. Haneul mengernyitkan dahinya, bingung dengan senyuman Yoon Gi yang sudah kembali.

“Yoon..”

Yoon Gi yang melihat Haneul semakin kebingungan langsung meraih kedua tangan Haneul dan menggenggamnya penuh kelembutan. “Pasti sangat lelah bukan bagimu untuk merawatku? Maafkan aku, Haneul-ya..”

Mendengar ucapan Yoon Gi membuat Haneul membeku seketika. Ia tidak bisa mengatakan apapun mengenai perasaannya sekarang ini. Ia merasa begitu bahagia melihat Yoon Gi mengatakan hal yang diluar dugaannya. Ia merasa kini Yoon Gi tlah kembali. Melihat Yoon Gi yang sangat bekerja keras untuk memulihkan keadaannya hingga kini ia mampu tersenyum di hadapannya membuat mata yeoja itu terasa begitu panas. Tak terasa bulir bening mulai jatuh dari mata indahnya. Haneul langsung memeluk namja itu dan terisak dipelukannya.

Yoon Gi yang merasakan badan Haneul bergetar begitu hebat membalas pelukannya. Ia menepuk-nepuk punggung yeoja itu perlahan. “Terimakasih kau masih disisiku, meski berkali-kali aku menyuruhmu menjauh dariku, terimakasih karena kau tidak pergi. Terimakasih.. karena kau mau menunggu hingga aku menjadi seperti ini sekarang. Aku akan berusaha lebih keras lagi untuk kembali menjadi Yoon Gi yang dulu..”

Haneul menganggukkan kepalanya pelan. Ia masih belum bisa menyusun kata-kata yang ada dalam otaknya. Ia masih belum bisa mengekspresikan luapan rasa dalam hatinya. Suatu senyuman kecil yang membuat hatinya begitu bahagia. Haneul menatap langit-langit kamar Yoon Gi dengan guratan senyum penuh rasa terimakasih.
Minhwa, senyuman manis itu kini tlah kembali..
***
Harim keluar dari kamarnya saat ia melihat sosok perempuan masuk ke apartemen Yoon Gi. Ia memiringkan kepalanya, seperti merasa pernah melihat perempuan itu sebelumnya. Tetapi karena ia tidak bisa mengingatnya, ia mencoba melupakan masalah itu dan segera berjalan menuju lift. Ia ada janji sarapan dengan kakaknya hari ini.

Ya. Merupakan sebuah tradisi di keluarga Harim untuk sarapan bersama setiap weekend. Namun hari ayah dan ibunya tidak bisa datang, sehingga ia hanya akan makan berdua dengan Jin, saudara tirinya.

Kakinya mulai melangkah masuk ke dalam restoran bergaya Eropa yang terletak di seberang gedung apartemennya. Bau beef steak yang merupakan salah satu makanan favoritnya seakan menyambut kedatangannya, membuat ia harus memegangi perutnya yang mulai berteriak karena kelaparan. Suasana disana juga masih cukup sepi, karena restoran biasanya baru buka pukul delapan. Hanya ada beberapa bangku yang sudah terisi oleh pelanggan karena saat ini baru lima belas menit berlalu dari jam dimana restoran biasanya buka. Restoran itu tlah lama menjadi restoran langganan keluarganya hingga ia hafal betul menu apa saja yang ada di restoran itu. Pemilik restoran yang merupakan rekan bisnis ayahnya membuat Harim tidak merasa canggung untuk sering-sering datang ke restoran yang menyediakan berbagai menu masakan Eropa disana.

Terlihat sosok laki-laki berkemeja putih dengan setelan jas abu-abu yang ia letakkan di punggung kursinya tengah sibuk dengan ponsel yang ia genggam. Perlahan Harim berjalan menghampiri laki-laki yang duduk di meja paling ujung ruangan tersebut. Meja itu merupakan meja favorit Harim setiap di restoran. Letaknya yang cukup jauh dari pintu masuk membuat orang jarang berlalu lalang disana. Kolam ikan yang terletak dibalik dinding kaca yang ada disana dan suara gemericik air yang dihasilkan dari pancuran membuat suasana terasa begitu damai dan tenang, ditambah lagi dengan alunan musik jazz yang menemani para pelanggan menikmati hidangan yang disediakan. Jin, laki-laki itu melambaikan tangannya saat melihat Harim tlah berjalan kearahnya.

“Apa oppa sudah lama disini?” tanya Harim saat duduk di hadapan Jin.

“Lumayan..” jawabnya sambil meletakkan ponselnya ke meja. “Apa ayahmu sudah memberitahu kalau ia tidak bisa datang sarapan bersama pagi ini?”

Harim menganggukkan kepalanya. “Mereka sedang dalam perjalanan bisnis ke Jepang. Aku berharap mereka cepat pulang..”

Jin mengerutkan dahinya. “Kenapa? Apa terjadi sesuatu?” tanya Jin khawatir. Tak biasanya Harim mengharapkan keberadaan orang tuanya kecuali karena satu hal, ada masalah yang tidak bisa ia selesaikan sendiri.

“Oppa, apa kau kenal orang yang tinggal di samping apartemenku?” Tanya Harim tiba-tiba. Jin mengernyitkan dahinya mendengar pertanyaan Harim. Sebelum apartemen itu ditempati Harim, Jin memang sudah tinggal disana hampir dua tahun. Ia pindah sekitar tiga sampai empat bulan yang lalu setelah rumahnya yang berada di daerah Banpo-dong selesai dibangun.

Jin mencoba mengingat-ingat orang yang dimaksud Harim. “Disamping apartemenmu, yaa? Seingatku yang tinggal disanaa..” Jin menahan kata-katanya, ia sedang berfikir keras untuk mengingat siapa yang tinggal di apartemen yang terletak disampingnya. “Ahh.. laki-laki gila itu!” seru Jin saat ingat siapa yang tinggal disana.

Harim mengernyitkan dahinya. “Laki-laki gila?”

Jin menganggukkan kepalanya mantap. “Aku lupa memberitahumu ini. Laki-laki itu mengalami depresi berat karena kehilangan perempuan yang ia sayangi hingga ia terlihat seperti orang sakit jiwa. Tapi sebenarnya ia orang yang baik. Kalau dipikir-pikir.. sudah satu tahun ini ia tinggal di apartemen itu. Apa kau sudah bertemu dengannya?”
Kali ini giliran Harim yang menganggukkan kepalanya. “Ya.. kemarin. Ia menolongku dari Taehyung. Tapi.. kenapa ia memakai kursi roda?” tanya Harim yang kini rasa penasarannya akan laki-laki itu perlahan mulai muncul.

“Menolongmu dari Taehyung? Sosok Yoon Gi?” kaget Jin tak percaya.

“Jadi nama laki-laki itu Yoon Gi..” Harim mengangguk-anggukkan kepalanya saat mengetahui nama laki-laki yang ia panggil Suga. “Yaa.. ia membantuku melarikan diri dari Taehyung.” Jawab Harim enteng.

“Ka.. kau menggunakan Yoon Gi sebagai alasan kau melarikan diri?” tanya Jin yang masih tak percaya. Harim menghela nafas berat.

“Yaa.. sebelum kini aku tau kalau ia gila..” jawabnya malas.

Jin segera membenarkan tempat duduknya. “Sebenarnya ia tidak gila, hanya saja banyak penghuni apartemen yang mengatai ia gila. Ia hanya mengalami kesedihan yang mendalam hingga ia berkali-kali mencoba untuk membunuh dirinya. Aku yakin perempuan itu pasti perempuan yang sangat penting untuknya hingga ia tidak memiliki keinginan untuk hidup..”

“Jadi ia memakai kursi roda karena ia gagal bunuh diri, kah?” tebak Harim.
Jin mengangguk. “Ia tidak bisa menggerakkan kedua kakinya. Tidak hanya itu, ia memiliki banyak bekas luka jika kau amati ia dengan jeli. Ia juga tidak bisa bicara dengan orang yang tidak ia kenal..”

Harim mengedipkan matanya beberapa kali, bingung dengan penuturan Jin yang berbeda dengan kenyataan yang ia alami. “Kemarin ia bicara denganku..”

Ucapan Harim membuat Jin tercekat. “Dia.. dia bicara denganmu?” tanya Jin tidak percaya.

Harim menganggukkan kepalanya. “Ia tidak hanya bicara. Ia tidak segan mengomeliku seperti kami sudah mengenal satu sama lain. Ia bahkan menyuruhku mengucapkan kata ‘maaf’ dan ‘terimakasih’..”

Jin menggosok dagunya pelan. “Apa itu artinya.. dia sudah sembuh?” tanya Jin pada dirinya sendiri.
***
Suara dentingan piano memenuhi ruangan dimana Taehyung duduk sekarang. Jungkook memang biasa memainkan piano di ruang pribadi Taehyung disela-sela waktunya. Begitu pula dengan Jimin yang selalu datang untuk memainkan bermain playstation disana. Meskipun ayah dan ibu Taehyung terlihat tidak suka dengan mereka, mereka berdua tidak pernah tidak datang kesana setiap harinya jika memang tidak ada urusan yang mendesak. Sebenarnya ruang itu adalah gudang rumahnya, sebelum ia ubah menjadi tempat untuk berkumpul dengan kedua sahabatnya, Jimin dan Jungkook. Ia membereskan semua barang-barang yang ada di gudang, memberi sedikit sentuhan pada ruang tersebut dengan memberikan walpaper pada dindingnya, memasang pendingin dan pemanas ruangan disana, memperbaiki saluran air dan listrik yang ada disana, kemudian memindahkan barang-barang yang biasanya digunakan oleh sahabatnya ke gudang yang tlah ia sulap menjadi basecamp¬-nya. Ruangan itu memiliki sofa dan tempat tidur susun untuk beristirahat. Ada dapur kecil dan kamar kecilnya juga. Bisa dibilang, kini gudang itu sekelas dengan kamar eksklusif hotel bintang empat dengan fasilitas melebihi hotel bintang lima.

“Taehyung-ah, apa kau tidak mau menemui Harim lagi hari ini?” tanya Jimin yang masih sibuk dengan joysticknya.
Taehyung menghela nafas pelan. Ia menatap layar ponselnya yang sama sekali tidak menyala setelah ia mengirimi pesan kepada Harim tadi.

“Apa kau sudah menyerah setelah diabaikan karena orang cacat itu, hyung?” tanya Jungkook saat ia sudah selesai memainkan ich liebe dich milik Beethoven.

Mendengar ucapan Jungkook, Taehyung langsung menoleh padanya dengan tatapan benci.
“Apa kau mengejekku sekarang?” kesal Taehyung. Ia langsung melempar bantal kearah namja imut itu, namun Jungkook dapat menangkapnya.

“Bukankah orang cacat itu tetangga Harim? Mereka pasti sangat dekat..”
Kalimat Jimin membuat Taehyung memanyunkan bibirnya kesal. Ia melempar bantal lain yang ada di dekatnya dan sukses mengenai kepala Jimin.

“Sepertinya hyung sudah kalah satu langkah dari orang cacat itu,” ujar Jungkook sambil menekan salah satu tuts pianonya.

“Hey, haruskah aku pindah ke apartemen yang dekat dengan Harim?” tanya Taehyung yang tiba-tiba mendapatkan ilham dari langit.

“Bukan pindah ke apartemen yang dekat dengan Harim, namun membuat orang cacat itu pindah karena kau tinggal disana..” jawab Jimin yang mampu membuat Jungkook tersenyum bangga, tak menyangka bahwa Jimin dapat memberi ide yang lebih brilian dari pada ide Taehyung.

“Whoaa.. Park Jimin.. Kau lebih pintar sekarang..” puji Jungkook.
Jimin membanting joystick yang ada ditangannya setelah mendengar pujian dari Jungkook. “Yak! Bagaimana bisa kau memanggilku Park Jimin??! Kau lebih muda dariku!! Apa kau tidak punya sopan santun?! Dan.. dan kau bilang apa tadi?? Aku lebih pintar? Aku memang pintar dari dulu!! Aigooo.. kau benar-benar membuatku kesal!!”
***